Sabtu, 28 Juni 2014

Curug Ponggang, Eksotika di perbatasan Purwakarta-Subang

Bismilah..........................................................................................................






Mendengar selintas tentang curug ini, sewaktu kopdar colongan di sebuah komunitas motor pecinta keindahan alam Indonesia ,Chapter Purwakarta. Mang Iwan dan mang yudi lah yang pertama bilang adanya curug eksotis di perbatasan kabupaten ini. Bahkan, mereka berdua telah menelusurinya pada hari selasa,17 Juni 2014 lalu. Sayang, keduanya gagal menemukannya.Tersesat di jalan alasannya, padahal tinggal 300 meter lagi menuju lokasi.
Nah! Minggu kemarin tanggal 22 Juni 2014 lalu, Saya ,Mang Dadang, Mang Yudi, sepakat untuk melanjutkan misi pencarian keberadaan curug tersebut.


=====

Mulai riding dari Wanayasa,Purwakarta, kediaman Mang Iwan, menuju lokasi. Belok di Legokhuni sebelum memasuki kota Wanayasa kalau dari arah Purwakarta. Masuk menuju kecamatan Kiara Pedes via Sate Maranggi Pareang. Selepas warung makan tersebut, kurang lebih 500 meteran, belok kanan menuju Kantor kecamatan Kiara pedes. Di pertigaan kecamatan, lurus saja ambil jalur yang menuju desa Ciracas.

Kondisi jalan dari mulai Legokhuni sampai Ciracas, sudah relatif mulus. Aspal Hotmik.jargonnya bupati Purwakarta dengan jalan Leucirnya, sudah tembus sampai desa terpencil sekalipun. Baru, sesudah melewati perbatasan Purwakarta-Subang, jalan mulai jelek begitu memasuki jalan kabupaten penghasil Nanas tersebut.




Kanan kiri persawahan penduduk. Bukit-bukit menjulang di ujung Petakan tanaman penghasil Beras tersebut. Rumah-rumah penduduk berpencar berblok blok di pisahkan kebun atau sawah. Aliran sungai jernih dengan lebar 12 meter, membelah desa. Nampak di sepanjang aliran sungai tersebut di mampaatkan buat beternak Ikan dengan sistim air deras.





Memasuki desa Ponggang,jalan menurun mulai mendominasi. Lanskap Kalijati dan Dawuan, Subang,nampak jelas terlihat. Momotoran di jalan jelek, tidak begitu terasa jikalau kanan kirinya pemandangan alam nan indah.Hutan ,gunung, Sawah, dan kereamah tamahan penduduk desa adalah simpanan kekayaan.

Tak terasa, sudah di ujung jalan kami motoran. Mentok di depan sebuah Mesjid kecil, kampung Ponggang.
Nampak beberapa penduduk sedang bikin pondasi di depan ruang Imam sholat berjamaah. Gema bulan Ramadan yang masih seminggu lagi, begitu terasa di kampung ini. Rumah-rumah sekarang dibersihkan dan di cat kapur.



Kami bertanya pada seorang Tua kampung yang sedang mengomandoi pembuatan pondasi Mesjid tersebut.
karena di tempat ini, batas pengetahuan mang Yudi akan keberadaan curug tersebut. Beliau menunjuk sebuah jalan kecil di sebeleh Mesjid yang menuju sungai. Alhamdulilah, kami berterima kasih pada bapak tersebut, sekaligus menitipkan motor padanya.




Menyusuri sengkedan tanah menuju Sawah. Terlihat sebuah mata air dengan empat pancurannya. Penduduk desa setempat membangunnya, sehingga bisa dipake mandi dan cuci. Apa yang kami injak adalah jalan tembok selebar satu meter. Namun sudah tertutup belukar, sehingga tak jelas kelihatan. Kami berjalan menelusuri jalan tembok tersebut.mulai selepas pinggiran Mesjid, menyusuri Sisian Sawah, sampai masuk sengkedan tebing antara sawah dan sungai di bawah.





Tak terasa sudah berjalan sejauh 600 meter sesuai keterangan penduduk tadi. Suara gemuruh air menimpa batu terdengar jelas. Sampaialh disisian sungai Cilamaya dimana Curug terjun itu berada. Nampak jelas air terjun dengan debit airnya yang besar. Kami turun ke bawah, merasakan sensasinya dan keindahannya.


Secara Administrasi, curug ini berada di dua perbatasan dua desa, yakni Sukajaya,kecamatan Kiara Pedes, kabupaten Purwakarta dan desa Ponggang,kecamatan Serangpanjang, kabupaten Subang. Aliran sungai Cilamaya ini memang batas alami dua kabupaten tersebut. sedang koordinat mendekati ada di    -6.373284,108.353098

Curug ini pernah begitu berjaya di medio 2002 sampai 2005. Selama tiga tahun tersebut, tempat ini bisa di jadikan andalan penghidupan penduduk Ponggang. Jalanan tembok sepanjang 600 meter dari tempat parkir sampai lokasi adalah buktinya. Sayang, hari ini yang terlihat adalah semak belukar dan jalan tembok yang licin berlumut. Entah karena apa , curug ini sekarang ditinggalkan begitu saja.

Dua jam kami bermain air dan menikmati keindahan yang tersebunyi ini. Biarlah terus tersembunyi saja, begitu pikirku. Dan, sekarang saatnya Pulang.

CAG

Rabu, 25 Juni 2014

(jalan Alternatif) Wado-Bantarujeg-Panjalu

Bismilah............................................................................................

Dua puluh terakhir, setiap momen Lebaran, saya selalu pulang kampung. Rindu kampung halaman dan handai taulan adalah alasan utamanya.
Daerah asal saya adalah dari Ciamis. Sebuah kota kecil di tenggara provinsi Jawa Barat. Sekarang saya tinggal di Purwakarta, 200 km jaraknya dari Ciamis. Bermacam jalur ke Ciamis, pernah saya lewati. Mulai dari lewat kota Sumedang, Majalengka, Garut, dan Pameungpeuk ,Garut selatan, telah saya coba telusuri.
Tentu, jalan utama yang sering dilewati adalah ruas Malangbong-Tasikmalaya.
Tapi, sudah lima tahun terakhir, jalur ini senantiasa macet disaat tiga hari menjelang hari Lebaran, begitupun sesudahnya.
Nah!! disini saya akan merevyu jalur alternatif, menghindar dari ruas Malangbong-Tasikmalaya tersebut.
Saya mulai dari kota kecamatan Wado, Sumedang bagian selatan.

Wado-Bantarujeg

Jalan sepanjang 22 km ini sudah relatif baik untuk sebuah jalur alternatif. Tiga kondisi jalurnya;
1. Hotmik mulus
2.Rusak sedang
3.Jalan bergelombang beraspal masih curah





Ada beberapa persimpangan di jalur ini, tapi, minim penunjuk arah. Maka, jangan segan-seganlah untuk bertanya.
Berjalan di Sisi utara gunung Cakrabuana, Anda akan di suguhi pemandangan indah di sisi kanan kendaraan.
Jalan berkontur naik tutun perbukitan ini melewati kota kecamatan ,Jatinunggal, Nyalindung, Kirisik dan Lemah Sugih, dan berakhir di kecamatan Bantarujeg, Majalengka.

Bantarujeg-Malausma-Panjalu

Jalur Bantarujeg-Malausma-Panjalu ini kurang lebih jaraknya sekitar 28 km . Sudah kategori mulus beraspal hotmik 90 %. Ada sebagian yang sedang dalam perbaikan dan pengaspalan setelah melewati kota kecamatan Malausma.


Tidak rugi melewati jalan ini. Pemandangan indah gugusan gunung -gunung memanjang dari barat ke timur.
Gunung utamanya yakni Cakrabuana dan Gunung Syawal.
Sungai berair jernih, Sawah dan pemukiman penduduk menciptakan harmoni yang indah. Para penduduknya yang ramah,bermata pencaharian bertani dan beternak.
Tanjakan-tanjakan lumayan terjal terpampang juga di jalan ini, terutama menjelang perbatasan Majalengka-Ciamis. Vegetasi pohon Pinus berada di perbatasan kedua kabupaten ini. Setelahnya baru, Hamparan kebun Teh Sukamantri memanjakan mata kita.


Jalan paling parah kerusakannya adalah setelah masuk wilayah kabupaten Ciamis ini, atau setelah perbatasan. Tercatat 2 km yang rusaknya. Oleh karena itu , kendaraan roda empat jenis sedan tidak di rekomendasikan lewat jalan ini.
Memasuki pasar Sukamantri belok kanan menuju Panjalu. Kurang lebih empat kilometer, baru memasuki wilayah kecamatan di utara kota Ciamis ini, yang punya ciri khas dengan danau Lengkongnya. Disan kita bisa wisata jiarah atau sekadar kukineran di pinggir danaunya. Rekomendasi kulinernya adalah Sambal terasinya yang yahuudd tenan.


Di Panjalu ini terdapat dua pilihan jalur. Ke kiri menuju Kawali-Ciamis seterusnya Jawa Tengah. Ke kanan menuju Panumbangan ,Rajapolah atau Ciawi, Tasikmalaya.

Senin, 16 Juni 2014

Cimandaway, Eksotika di barat Cilacap

Bismilah........................................................................


Dayeuh = Kota , Luhur = Tinggi, berarti Kota yang ada di perbukitan atau Gunung.

Beberapa kali mencari di internet tentang Dayeuh luhur. Nama unik untuk sebuah wilayah yang ada di provinsi Jawa Tengah, khususnya kabupaten Cilacap. Daerah yang mayoritas penduduknya masih menggunakan bahasa Sunda ini berbatasan langsung dengan kecamatan Tambaksari,kabupaten Ciamis.

Seringnya saya melihat daerah ini atau plang penunjuk daerah ini, sewaktu berkunjung ke Handaitaulan di Majenang, Cilacap. Mencari  potensi wisata di daerah ini di mbah gugel, dan dapatlah satu nama, yakni Curug Cimandaway. Menanti waktu yang pas. Beberapa kali tertunda, akhirnya, kemarin tanggal 14 juni 2014, baru bisa menyambanginya.

===

Hawa dingin terasa merasuk raga. Gelapnya malam belum bergeser ka arah terang. Habis shubuh saat itu, persiapan paking barang di Box samping yang nemplok di Andia (nama motor saya). Terlihat Nenek saya (Ibu dari Ibu saya) sedang meremah Nasi di daun Pisang, nasi Timbel namanya. Beres semuanya, lanjut pamitan. Tak lupa memasukan Timbel buat bekal di jalan. Selalu begitu memang orang tua ini, tak kuasa saya menolaknya.
Jam lima kurang, saya mulai meninggalkan kampung Cikarohel, desa Cimari, kecamatan Cikoneng, kabupaten Ciamis. Kampung yang selama dua belas tahun saya tinggali. dari mulai saya lahir sampai menamatkan pendidikan sekolah dasar disana.

Satu kilometer melalui jalur perkampungan, tibalah di jalan Nasional Bandung-Yogjakarta. Kubelokan Andia ke kanan menuju Banjar. Jalan lengang saat itu, kupacu Motor perlahan saja. Menikmati dinginnya hawa saat itu. Beberapa kali bertemu truk lintas Provinsi dan Minibus Travel jurusan Bandung-Yogyakarta.  Lima puluh menit berlalu, sampailah di perbatasan Provinsi, melintasi sungai Cijolang sebagai tanda batasnya. Tugu Kujang dibagian barat dan Patung Diponegoro dibagian timurnya.
Setelah perbatasan, berapa tumpukan material pasir dan batu teronggok di pinggir jalan, semakin menyempit saja jalur ini. Dibahu jalan ada galian memanjang sealur jalan, selebar setengah meter. Nampaknya akan ada pelebaran jalan lagi disini. Memasuki Mergo, tengok kiri jalan buat memastikan arah yang menuju ke Dayeuh Luhur. Akhirnya ada plangnya.
Matahari mulai menampakan sinarnya ketika saya memasuki jalur ini. Perkebunan karet langsung menghadang satu kilometer sesudahnya. Kebun berganti pemukiman, Suasana desa dengan aktivitas warganya. Jalan naik turun berkelok kelok. Semakin lama, Tanjakan demi tanjakan menghadang di depan.
Kondisi jalan yang mulus,memudahkan Andia untuk melibasnya. Akhirnya, ketemu pertigaan di kota kecamatan. Bertanya pada penduduk setempat, arah menuju Curug Cimandaway.
Ternyata, dari pertigaan ini, masih harus menempuh jarak sembilan kilometer lagi, begitu keterangan dari pengojek di pertigaan tersebut. Mengambil ke arah Tambaksari, Ciamis, jalan sejauh dua kilometer.Belok kanan di Smpn Dayeuh Luhur, menuju desa Serang Datar.

Tiga kilometer pertama, jalan mulus hotmik. Setelah itu, jalan aspal curah kelas tiga. Tanjakan berat mulai ditemui di daerah ini, terutama dua kilometer terakhir.
Dua kali bertanya lagi untuk memastikan. Banyaknya persimpangan cukup membuat keder juga. Akhirnya, sampai juga di pos tiket Curug. Belum ada siapa-siapa saat itu, Jam saat itu menunjukan 6.34 WIB, masih sepi.
Akses dari pos tiket ke Curug sudah relatif baik. Jalan selebar satu meter menyisir persawahan, sudah di tembok. Beberapa warung-warung sudah ada. Mushola dan shelter buat istirahat nampak memadai.Dan yang paling istimewa, ada spot Outbond macam berjalan diatas tali dan Fling Fox, kalau tidak salah.

Berjalan menurun menuju sungai, karena di sanalah tempat utamanya. Seratus meter terakhir, lumayan curam juga.Belum lagi sebagian jalan temboknya licin karena lumut dan air hujan. Saya yang waktu memakan sepatu safety, cukup repot juga melewatinya. Alhamdulilah, perjuangan terbayar juga............................
Curug Cimandaway adalah pertemuan dua sungai. Sungai Sukaraja  yang jatuh langsung dan bermuara di sungai Cikawalon, membentuk sebuah air terjun yang indah. Ketinggian Air Terjun ini sekitar 70 m, merupakan yang tertinggi di kabupaten Cilacap, Jawa Tengah.
Secara administrasi, Curug ini berada di desa Serang Datar, kecamatan Dayeuh Luhur, kabupaten Cilacap,
dengan titik koordinat ada di   -7.229144,108.581961






Satu jam lamanya saya berada di tempat ini. Sampai pulangpun, belum ada pengunjung kesini. Mungkin masih terlalu pagi atau memang waktu itu hari sabtu, yang sebagian masih sekolah dan bekerja di kantornya.
Saatnya pulang. Suatu saat nanti, pasti kembali.

CAG





Senin, 09 Juni 2014

Sanghyang Taraje, tangga menuju Langit

Bismilah............................................

Suasana pagi di Sinarjaya, Caringin, Garut ,saat itu cukup ramai. Pasar pagi yang di gelar tiap hari itu, mencapai puncaknya pada hari minggu. Sebagian istilah bahasa di tatar Parahyangan menyebutnya dengan Poe Pasar. Kami berdua Sama Aan Sulistyo, yang baru saja mengikuti event Bikerberque di pantai Puncak Guha, melahap santai, tanjakan selepas perempatan Rancabuaya.Sekitar delapan kilometer berjalan , di sebuah kedai makan sederhana kami berhenti. Bukan untuk mampir makan, melainkan ada spot menarik disitu. Ambil beberapa gambar, kami lanjutkan perjalanan.

Saat itu pertengahan Februari 2014. Abu Gunung Kelud nampak di genting-genting rumah dan dedauanan.
Angin barat, membawa debu ini terbang ratusan kilometer dari asalnya. Gunung kelud yang meletus, dua hari sebelumnya, di Kediri, Jawa Timur.


Di sukarame, lima belas kilometer dari Rancabuaya, kami belok kanan menuju kota Garut. Jalan ini tembus langsung menuju kota dodol melalui kecamatan Pakenjeng, Pamulihan, Cikajang dan Cisurupan. Jalan aspal hotmik mulus berubah menjadi semi oproad begitu masuk jalur Bungbulang. Kecepatan kami tak lebih dari tiga puluh kilometer perjam. Butuh waktu satu setengah jam untuk menempuh jarak sekitar 40 km.

Di Cisandaan, kami belok kiri menuju kantor kecamatan Pamulihan. Dua belas kilometer panjangnya jalan ini, sampai berakhir di kantor kecamatan. Kontur jalan naik turun dengan pemandangan hamparan kebun teh di lereng Papandayan. Kondisi jalan saat itu rusak sedang, dan di beberapa bagian ada yang  parah. Begitu memasuki kota kecamatan, jalan kembali mulus.

Sempat bertanya sama penduduk setempat untuk memastikan, bahwa kami tidak tersesat. Masuk jalan perkampungan desa Pakenjeng, jalan semakin mengecil saja. Sesudah perkampungan,Tanjakan dan tururnan curam langsung menghadang. Jalan selebar dua meter, bilamana berpapasan dengan mobil minibus, cukup merepotkan bila silang di belokan. Di kiri tebing batu, di kanan jurang dalam.Bila saja lengah!..ya sudah... wasalam saja.

Tak berapa lama, ada sebuah pos yang tak terpakai. suara gemuruh air terdengar di kejauhan. kami menengok ke sebelah kiri, Nampaklah curug di kejauhan. Curug kembar yang tingginya mencapai 70 meter lebih ini. Ini rupanya yang di sebut Curug Sanghyang Taraje.






Akses jalan menuju curug sekitar 300 meter jalan kaki. parkiran berada di atas, di pinggir jalan, yang hanya cukup lima motor saja. Kami saat itu tidak turun mendekati Curugnya. Barang bawaan yang banyak, cukup riskan untuk ditinggalkan begitu saja.





Secara administrasi, Curug Sanghyang Taraje ini berada di desa Pakenjeng, kecamatan Pamulihan,kabupaten Garut. Berada di titk koordinat  7*25'12" S      107*41'47" E
Menurut cerita masyarakat, Curug ini merupakan Taraje atau tangga yang di pakai prabu Kian Santang, raja Pajajaran, untuk menuju Kahyangan atau langit, dimana tempat para dewa tinggal.





Sayang, belum ada tindakan serius dari Pemerintah setempat untuk mengelola curug yang indah ini. Pos tiket yang sudah menua itu menandakan bahwa, dulu tempat ini memang pernah menjadi primadona pariwisata kabupaten Garut. Tapi, saat ini, terbengkalai tak terurus.

Dua jam lamanya, kami duduk dan mengabadikan Curug ini.Kini, Saatnya pulang...............................


CAG

Kamis, 05 Juni 2014

###Cisanti; Siduru Sisi Situ


-7.20809,107.65707

Situ Cisanti merupakan kilometer pertama bagi Sungai Citarum. Mengalir meliuk liuk membelah tanah Parahyangan bagian tengah menuju utara, dan berakhir di laut Jawa. Di sepanjang alirannya Citarum di bendung menjadi tiga DAM, Saguling, Cirata, dan Jatiluhur.  Dua bendungan pertama di khususkan untuk pembangkit listrik yang menerangi sebagian tanah Jawa dan Bali, sedang Jatiluhur, di peruntukan buat pengairan lumbung padi di sepanjang jalur pantai utara, , Subang ,Karawang dan bekasi. Secara administrasi, Situ Cisanti berada di desa Taruma jaya, kecamatan Kertasari, kabupaten Bandung.

===

Gelar tenda di bawah jajaran pohon Pinus. Nampak mang Dadang sudah tiba lebih dulu. Dia menggelar sarung Gantung alias Hammocknya di antara dua pohon penghasil Terpentine ini.Satu persatu saya mulai mengenali teman-teman Nusantaride disini, Bang Joe, Uda Dendi Julius dan Kang Widyawardana Adiprawita. Sebagian yang lain cuma sayy hello saja...hehe....maklum nubi saya.

Sudah dua hari ini tidak mandi, efek Tank Bag ketinggalan. Semua peralaatan mandi serta baju salin ada di dalamnya. Untung Cev Irwan dari Bandung Barat berkenan mengantarkannya, sekaligus dia juga ikutan  Event ini. Pedelah sudah saya mengikuti acara ramah tamah malam harinya. Sebelumnya mandi air dingin di Wc Mushola pojok Situ.

Siang berganti malam. Selepas Isya acara mulai di gelar. Mang Dedi tampil pertama sebagai ketua Panitia.
Seterusnya Bang Ibra dengan kiat keselamatan Lalu lintasnya. Yuki dari Purwakarta,menyajikan riding lintas negara yang di jalani 2013 lalu. Hendra Yoska menerangkan sejarah asal mula Cisanti. Terakhir Kang Dendi Julius membimbing cara foto-foto yang baik dan berkualitas. Sayang saya cuma punya hape berresolusi lima empe, tak cukup pede untuk ikut sesi foto Situ di malam hari...hehe.....


Courtesy By Widyawardana Adiprawita

Kembali ke tenda jam sembilan malam. Efek ngantuk makan rendang Telur karya Istri sang ketua panitia.
Pakde Julianto Sasongko ikut satu tenda dengan saya. Jelas, saya tak menyia-nyiakan kesempatan langka ini. Mulai bertanya-tanya tentang pengalaman riding yang jam terbangnya sudah tinggi, serta kiat kiat pisiknya yang selalu fit di kala Riding jarak jauh. "Nikmati saja perjalanannya", jawabnya pendek.Ngobrol ngalor ngidul sampai mata tidak kuat melek lagi, akhirnya.....ZZzzzzzz

Courtesy by Widyawardana Adiprawita
Hampir per dua jam saya terbangun. Hawa dingin ini menyebabkan efek sering buang air kecil. Sudah berapa kali tuh, pohon Pinus di guyur pupuk oleh ampas  Mie rebus dan Susu Jahe. Nampak mang Dadang anteng-anteng saja tidur di Kepompongnya. Sudah terbiasa dia, menghadapi suasana seperti ini.
Courtesy  By Mang Dadang

Adzan shubuh terdengar di Kampung sebelah utara lokasi tenda. Satu persatu bangun dari tidur lelapnya.
Ada sebagian yang sedang mengelilingi api unggun.  Kudekati, untuk ikut menghangatkan badan yang menggigil ini. Ada Tahu Tempe sisa semalam, kumakan saja buat mengganjal perut yang keroncongan. Ketika Matahari sudah sepenuhnya menyinari Dunia, beres beres tenda untuk segera pulang.

Courtesy by Widyawardana Adiprawita
Semua barang bawaan sudah terikat kuat di motor. Mesin tunggangan sudah di panaskan, lanjut pamitan sama Panitia dan peserta yang tersisa. Berat rasa untuk berpisah, sama keluarga baru yang bertambah di saat itu. Tapi, kehidupan harus berlanjut. Masing-masing punya peran di Dunia ini. Lain waktu berkumpul kembali.







Menyusuri perkebunan di Kertasari. Melewati suasana pasar di Cibeureum dan Maruyung. Pakde Julianto yang barengan pulang,pamit untuk duluan. jarak yang jauh membuat Beliau sedikit menekan gas lebih dalam.
Di Baleendah kami berpisah. Rekan seperjalanan lanjut pulang ke Purwakarta via Padalarang. Sedang saya, mampir ke Dipati Ukur, menghadiri pernikahan teman sekomunitas.Pulangnya via Punclut,Lembang tembus Wanayasa. Alhamdulilah jam tiga sore sampai di rumah.

CAG

Rabu, 04 Juni 2014

##Cisanti; Siduru Sisi Situ


Sabtu pagi sekitar jam delapan, kami mulai riding menuju event Nusantaride di Situ Cisanti. Langsung Dihadapkan tanjakan sesudah perempatan Caringin. Meliuk menikmati kelokan demi kelokan. Udara segar pagi dan senyum ramah penduduk Caringin yang akan berladang menambah semangat Riding kami.

Jalanan kering, sisa hujan kemarin sore tak nampak sama sekali. Di sebuah air terjun kecil, kami berhenti.
Keluarkan semua peralatan memasak untuk di cuci bersih. Sebagian yang lain, mandi pagi di bagian hulu air terjun tersebut. Maklum, di Puncak Guha memang tidak ada kakus sama sekali.

Masuk cisewu sekitar jam sepuluh . Di sebuah warung nasi kami berhenti. Sarapan dan segelas Kopi menemani istirahat dipagi itu. Bercakap-cakap sama pemilik kedai yang dandannya sedikit menor.Berapa jam yang dibutuhkan kalau menuju kota Garut?.
" lima Jam, Aa". begitu jawabnya. Saya pikir, Talegong dan Cisewu ini pantasnya masuk Bandung daripada kabupaten Garut. Akses  menuju Bandung lebih cepat dua jam dari pada harus ke Garut yang memutar melalui Bungbulang dan Cikajang.Tapi, ah sudahlah............Pantesan sewaktu riding melintasi daerah ini, tahun 2011, ada spanduk yang bertulis " Kabupaten Garut Selatan, Harga Mati".






Hari sudah siang, kami bersiap lagi melanjutkan perjalanan. Putaran gas sedikit lebih dalam ketika memasuki jalur Talegong-Pangalengan yang lebar. Jalur baru ini selesai 2012 lalu. Beberapa sempat ditutup karena longsor. Terlihat di beberapa tempat ada gundukan tanah di pinggir jalan.Warung-warung makan banyak bermunculan jalur ini. Itu tandanya, Akses ekonomi mulai terbuka.





Isi bensin di Kota kecamatan pangalengan. Baris di Indikator menunjukan dua bar lagi. Saya tidak tahu berapa kilometer lagi menuju Cisanti. Makanya diisi full biar aman sampai di Purwakarta.

Kota kecil di selatan Bandung ini sungguh semrawut sekali. Lalu lalang kendaraan bermotor terlihat acak-acakan. Disaat harusnya ngantri, malah saling serobot tidak mau ngalah. Belum lagi pemotor yang tidak pake helm, mayoritas malah kelihatannya. Angkutan umum, ngetemnya hampir setengah badan jalan. Tak pelak, kemacetan tak terhindarkan.Beberapa Bus besar yang menuju pemandian air panas Cibolang,tersendat tak bergerak.

Memasuki perkebunan Malabar, lalu lintas kembali sepi. Ambil menuju Talun Santosa, sesuai anjuran ketua panitia,Mang Dedi Sudrajat. Jalur Gravel terhampar di hadapan, entah sampai mana. Disinilah menguji skill berkendara.Tercatat, hampir sebelas kilometer kami ajrut-ajrutan menuju Cisanti.Selepasnya jalan kembali mulus.




Satu kilometer menjelang Kertasari, tiba-tiba,Wushh!! Satu kendaraan ijo melewati rombongan sambil klakson. sitiker Nusantaride nempel di spakbor belakang. Mahluk ijo itu ternyata Dtracker 250 cc. Penunggangnya tinggi besar. Namanya Rendra Herthiadi. Itu kami ketahui setelah berhenti dan berkenalan persis di depan pabrik teh Kertasari. Tak lupa poto narsis, pake tongsis miliknya.

Jam satu siang , kami memasuki parkiran kawasan situ Cisanti. Adi adhianti menyambut selaku panitia.
Saya mengenalnya waktu ke Cisomang. Jajaran pohon Kayu putih menjulang tinggi di pintu masuk. Shelter Pedepokan ada di sebelah kanan, dan warung kecil serta mushola ada di sebelah kiri jalur masuk.

 Jalan Seratus meter melalui jalan paving blok. Seterusnya turun meniti tangga , menuju kawasan Situ. Jalan kaki menyusuri pinggiran telaga. Beberapa rider dengan ramah menyambut kedatangan kami. Mang Dedi,sang Ketua pelaksana,nampak sibuk dengan ponsel nya. Admin Nusantaride Facebook, Ade Andrian Gazhali terdengar tawanya bersama beberapa Rider Bandung.

Secepatnya mencari lapak buat gelar  tenda. Setelah sebelumnya Registrasi peserta. Di bawah pohon Pinus kami mendirikan tenda. tampak di belakang, om Rendra juga melakukan hal yang sama. Berturut-turut, teman-teman lain yang baru datang juga, mendirikan tenda.



Lanjutannya baca disini